Sabar Adalah Kunci !
-
Dalam hidup itu ada saatnya kita mendapati kesusahan dan kepedihan,
terkadang kita membutuhkan seseorang yang mampu membantu kita dalam
ketertinggalan i...
Selasa, 19 Agustus 2014
Mutiara Ulama Sebuah nasihat berharga dari Syaikh Utsaimin rahimahullah :
SaHa -
...
Mungkin saja engkau memakai jam tanganmu, lalu yg melepaskannya dari tanganmu itu pewarisnya...
Mungkin saja engkau menutup pintu mobilmu, lalu yg membukakannya untukmu petugas ambulan...
Mungkin saja engkau memasang kancing bajumu, lalu yg membukakannya untukmu pemandi mayat...
Mungkin saja engkau memejamkan mata saat berbaring di kamarmu, lalu mata itu tidak terbuka lagi melainkan di hadapan Allah Penakluk langit dan bumi pada hari kiamat...
Tidakkah kita melihat bagaimana kita menghidupkan waktu kita, dengan apa kita mengisinya, dan dengan apa hidup kita akan ditutup?!
Ya Allah... sadarkanlah kami dari kelalaian ini.
===========
===========
Biografi Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin :
Beliau adalah salah seorang ulama ahlul hadits. Anggota Haiatul Kibarul Ulama (Badan Ulama Besar) Saudi Arabia. Pengajar di fakultas syari’ah dan ushuludin cabang universitas Al Imam Muhammad Bin Su’ud Al Islamiyah di Qasim. Memiliki banyak karya tulis yang sangat bermanfaat, diantaranya Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Ushul At Tafsir, Syarah Riyadhus Shalihin Imam an-Nawawi, dan Al Majmu Al Kabir Min Al Fatawa.
1. Kelahiran
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dilahirkan di kota Unaizah, pada tanggal 27 Ramadhan 1347 H, dalam lingkungan keluarga yang dikenal akan ilmu dan ke-istiqamahannya. Kakek beliau dari pihak ibu bernama Syaikh Abdurrahman bin Sulaiman al Damigh. Kepadanyalah beliau belajar, menghafalkan al-Qur-an, dan sebelum menginjak usia 15 tahun beliau telah hafal kitab tentang ushul al-fiqh yaitu “Zaad al-Mustaqniq” dan kitab tentang ilmu nahwu/bahasa yaitu “Alfiyah ibn Malik”. Beliau menguasai sastra Arab, ilmu menghitung dan menulis tulisan Arab.
Tidaklah mudah pada zaman itu seorang pelajar menuntut ilmu sebagaimana saat ini yang begitu mudah fasilitasnya. Pada zaman itu, Syaikh Utsaimin belajar dengan fasilitas yang sederhana, tidak ada tempat belajar, AC, tidak ada lampu khusus untuk belajar, belajar di kamar yang terbuat dari tanah, yang terlihat darinya kandang sapi, sebagaimana beliau menceritakannya.
2. Berguru pada Syaikh Abdurrahman Sa’di
Syaikh Utsaimin belajar di kota Unaizah pada guru beliau yaitu Syaikh Abdurrahman as-Sa’di salah seorang ulama terkemuka di daerah Najd selama 11 tahun. Beliau mengajar di Masjid Jami’ di Unaizah pada tahun 1371 H, akan tetapi hal ini tidak berlangsung lama karena beliau pergi ke kota Riyadh untuk belajar pada tahun 1372 H setelah meminta izin kepada Syaikh Sa’di guru beliau. Disanalah nampak bahwa beliau orang yang menonjol dalam ilmu agama, dimana beliau mampu meringkas studi selama 2 tahun dalam satu tahun, sehingga beliau dapat menyelesaikan pelajaran yang seharusnya 4 tahun menjadi 2 tahun.
Setelah itu, beliau ditunjuk sebagai pengajar di Ma’had Unaizah al-Ilmi, lalu melanjutkan di Kuliah syariah di Riyadh hingga lulus. Di kota ini, beliau bertemu dan belajar pada guru beliau ke dua, yaitu Syaikh Abdul Aziz bin Baz -rahimahullah-, Syaikh Utsaimin sangat terkesan padanya, dimana beliau berucap : “Saya terkesan pada Syaikh bin Baz akan perhatian beliau pada hadits Nabi, dan saya sangat terkesan pula pada akhlak beliau”.
3. Ditawari jabatan sebagai Qadhi (Hakim kepala)
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh Mufti kerajaan Saudi Arabia pada waktu itu menawarkan pada beliau untuk menduduki jabatan hakim, bahkan telah menetapkan beliau sebagai hakim kepala di kota al-Ihsa, akan tetapi Syaikh Utsaimin mengajukan udzur tidak dapat menerima jabatan itu, dan beliau lebih mengutamakan untuk melanjutkan belajar pada guru beliau Syaikh Sa’di.
Beliau pernah berkomentar : “Saya banyak terkesan pada Syaikh Sa’di akan cara beliau mengajar, memaparkan ilmu serta memahamkan pada murid dengan contoh dan makna. Demikian pula saya sangat terkesan akan akhlak beliau, karena Syaikh Sa’di mempunyai akhlak mulia, berilmu serta ahli ibadah, beliau bercanda dengan anak-anak, dan tertawa bersama orang dewasa. Dan beliau – masyaa Allah – diantara orang yang paling baik akhlaknya yang pernah aku lihat”.
Tatkala Syaikh Sa’di meninggal dunia pada tahun 1376 H di Unaizah, Syaikh Utsaimin menggantikannya sebagai Imam dan pengajar di Masjid Jami’ di kota itu, disamping tugasnya yang lain yaitu mengajar di Maktabah Unaizah al-Wataniyah dan al-Ma’had al-Ilmi”. Kemudian beliau berpindah mengajar ke fakultas Syariah dan Ushuluddin di cabang Universitas al-Imam Muhammad bin Saud di kota al-Qashim hingga beliau wafat.
4. Semangat yang tinggi
Sepanjang itu, Syaikh Utsaimin menjadi imam, berkutbah jum’at dan mengajar di Masjid, dan Universitas, menjawab pertanyaan seputar hukum agama melalui telepon, ikut serta kegiatan lembaga majelis ulama, ceramah melalui media elektronik, menjadi pengasuh bagi asrama murid-murid, mengunjungi dan duduk bersama mereka, menyampaikan ceramah melalui telepon, ikut serta dalam acara masyarakat pada hari yang membahagiakan mereka, dan menunaikan kewajiban kepada keluarga beliau. Beliau adalah suri tauladan bagi murid-muridnya dalam jihad dan beramal shalih.
Pada suatu pelajaran, Syaikh Utsaimin menyadari ada seorang yang tidak ikut pelajaran sebelumnya, lalu ia bertanya : “Apakah engkau faham terhadap apa yang aku sampaikan?” ia menjawab : “Tidak, ya Syaikh”. Lalu Syaikh Utsaimin bertanya : “Mengapa engkau datang dan hadir dalam pelajaran ini?” murid itu menjawab : “Agar mendapat pahala, sebagaimana hadits : Berdirilah, kalian telah diampuni. Sungguh Aku telah mengganti kejelekan kalian dengan kebaikan”. Ia mengutip sebuah hadits Nabi -shollallahu alaihi wa sallam- :
“Tidaklah suatu kaum berzikir kepada Allah melainkan ada penyeru dari langit : Berdirilah, kalian telah diampuni. Sungguh Aku telah mengganti kejelekan kalian dengan kebaikan”.
Maka Syaikh Utsaimin gembira mendengarkan jawaban ini dan perhatian terhadapnya.
5. Beliau Seorang Guru sekaligus Pendidik
Tidakklah hubungan Syaikh Utsaimin dengan para muridnya hanya sekedar hubungan ilmu saja. Beliau adalah sosok seorang pendidik sekaligus guru, beliau kunjungi murid-muridnya, menanyakan yang tidak hadir, dan membantu mereka yang butuh pertolongan.
Raja Khalid bin Abdul Aziz pernah menghadiahi pada beliau sebuah bangunan, maka beliaupun menginfakkannya untuk asrama murid-muridnya yang ditempati secara gratis, dan beliau sediakan ruang makan dan juru masaknya untuk menyediakan makanan bagi mereka. Dan beliau sediakan perpustakaan buku dan kaset.
Syaikh Utsaimin benar-benar mempergunakan metode penelitian dan mencari kejelasan dalam masalah ilmu agama, dan mengajarkan yang demikian itu pada murid-muridnya serta menasehati mereka untuk mencari kejelasan dan tidak tergesa-gesa dalam permasalahan yang berhubungan dengan agama. Dan beliau sangat bersemangat untuk menanamkan kepada muridnya sikap tidak fanatik pada suatu madzhab atau suatu pendapat, dan bersikap menerima kebenaran, dimana dalil dijadikan hakim/pemutus permasalahan, sekalipun menyelisihi madzhab beliau, yaitu madzhab al-Imam Ahmad bin Hanbal.
6. Kesederhanaan hidup dan kerendahan hati.
Syaikh Utsaimin termasuk ulama yang bersikap zuhud di dunia, beliau habiskan sebagian besar kehidupannya dalam rumahnya yang terbuat dari tanah. Beliau diberi hadiah dua rumah, namun beliau lebih mengutamakan keduanya untuk asrama murid-muridnya. Beliau tidak pernah meminta upah dari hasil karya-karya beliau yang dicetak atau kaset rekaman ceramah, dan beliau menganggap hal ini sebagai suatu hal yang menghambat ilmu. Beliau berpaling dari gemerlapnya dunia, dalam seminggu beliau mengenakan satu pakaian. Beliau berjalan kaki jika pergi ke masjid dan menolak ajakan salah seorang muridnya untuk pergi ke masjid dengan mobil, dan sepanjang perjalanannya ke masjid tiada henti-hentinya masyarakat baik yang tua maupan yang muda bertanya untuk meminta fatwa tentang permasalahan agama, hingga murid-murid sekolah dasar yang terletak di jalan menuju masjid berkeliling di sekitar beliau mengucapkan salam, dan beliau tidak menolak jabat tangan mereka. Dan jika berkenalan, beliau menyebut namanya langsung tanpa memberi embel-embel gelar beliau.
Suatu ketika ,beliau shalat di Masjidil Haram, setelah itu beliau ingin pergi ke suatu tempat, lalu beliau menyetop mobil taxi. Di dalam mobil terjadilah dialog antara beliau dengan sopirnya seorang Arab dalam masalah agama. Lalu bertanyalah sopir itu : “Siapa nama anda ya Syaikh?” beliau menjawab : “Muhammad bin Utsaimin”. Mendengar hal ini, sopir itu terkejut tidak percaya dan memastikan lagi : “Anda Syaikh Muhammad bin Utsaimin?” lalu beliau membalas : “Ya, Syaikh Utsaimin”. Lalu sopir taxi itu menggelengkan kepalanya sambil meragukan ucapan beliau, dan menganggap ucapan beliau sebagai sikap terlalu berani mengaku sebagai Syaikh Utsaimin. Lalu Syaikh berkata padanya : “Kalau anda, siapa nama anda?” sopir itu menjawab : “Syaikh Abdul Aziz bin Baz” (Seorang ulama ahlulhadits, Anggota Kibarul Ulama (Dewan Ulama Besar) dan Ketua Lajnah Daimah Saudi Arabia). (si sopir menjawab sekenanya, lantaran tidak percaya dengan jawaban Syaikh Utsaimin). Syaikh Utsaimin pun tertawa, lalu bertanya lagi : “Kamu Syaikh Abdul Aziz bin Baz?” sopir itu membalas : “Ya, sebagaimana anda (mengaku) Syaikh Utsaimin”.
Demikianlah keadaan Syaikh, jika beliau diantara para ulama, beliau adalah seorang ulama terkemuka yang tidak dapat diingkari seorangpun, dan jika diantara masyarakat biasa beliau seperti mereka.
7. Menasehati Dengan Lemah lembut
Suatu ketika, Syaikh Utsaimin menunaikan umrah bersama sahabat-sahabat beliau, dan di saat kembali ke penginapan, mereka melalui sekelompok pemuda bermain sepak bola. Lalu Syaikh berhenti dan menasehati mereka agar menunaikan shalat, akan tetapi mereka malah berpaling dari beliau dan tidak mengindahkan nasehatnya. Lalu beliau meminta kepada sahabat-sahabat beliau yang menemani agar pulang terlebih dahulu ke penginapan dan meninggalkan beliau bersama para pemuda dalam keadaan sendirian dan beliau berkeinginan keras agar para pemuda itu pergi menunaikan shalat. Syaikh pun menasehati mereka, lalu salah seorang diantara mereka memaki beliau dengan kata-kata yang jelek. Akan tetapi, beliau tidak menghiraukannya dan menyambut celaan itu dengan senyuman dan sikap mengasihi. Semua ini berlangsung dan mereka tidak mengetahui siapa Syaikh yang menasehati mereka, akhirnya merekapun mau mengikuti nasehat Syaikh, dan salah seorang pemuda yang mencela Syaikh tadi mengantarkan beliau ke penginapan, dan setelah sampai di penginapan pemuda itu baru tahu siapa jati diri Syaikh, lalu ia pun menangis serta meminta maaf dan Syaikh pun memaafkannya dan mengajarkan padanya cara berwudhu serta shalat, dan sejak saat itu pemuda itu menjadi seorang pemuda yang shalih taat beragama.
8. Bersemangat dalam Amal kebajikan dan tolong menolong.
Adapun dalam amal kebajikan yang beliau ikut berperan dengan hartanya, sebagian besar tidak diketahui oleh masyarakat, karena beliau sangat berusaha agar tidak diketahui sebagaimana hal ini dikatakan salah seorang muridnya. Beliau memberikan bantuan kepada siapa saja yang ingin menikah dan membayar separoh maharnya jika terpenuhi syarat-syaratnya. Beliau memberikan bantuan kepada orang-orang fakir dan mereka yang membutuhkan, bersama tiga orang muridnya beliau mendirikan pondok Tahfidzul Qur’an di kota Unaizah, membangun beberapa masjid di sejumlah tempat di negerinya, dan menginfakkan tiga juta real untuk pembuatan sumber air di Unaizah, sebagaimana juga beliau ikut andil dalam pembangunan masjid di luar negeri : seperti di Eropa, Amerika, Bangladesh dan lainnya.
(Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 27, hal. 45-50)
Semoga Allah merahmati beliau.
...
Mungkin saja engkau memakai jam tanganmu, lalu yg melepaskannya dari tanganmu itu pewarisnya...
Mungkin saja engkau menutup pintu mobilmu, lalu yg membukakannya untukmu petugas ambulan...
Mungkin saja engkau memasang kancing bajumu, lalu yg membukakannya untukmu pemandi mayat...
Mungkin saja engkau memejamkan mata saat berbaring di kamarmu, lalu mata itu tidak terbuka lagi melainkan di hadapan Allah Penakluk langit dan bumi pada hari kiamat...
Tidakkah kita melihat bagaimana kita menghidupkan waktu kita, dengan apa kita mengisinya, dan dengan apa hidup kita akan ditutup?!
Ya Allah... sadarkanlah kami dari kelalaian ini.
===========
===========
Biografi Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin :
Beliau adalah salah seorang ulama ahlul hadits. Anggota Haiatul Kibarul Ulama (Badan Ulama Besar) Saudi Arabia. Pengajar di fakultas syari’ah dan ushuludin cabang universitas Al Imam Muhammad Bin Su’ud Al Islamiyah di Qasim. Memiliki banyak karya tulis yang sangat bermanfaat, diantaranya Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Ushul At Tafsir, Syarah Riyadhus Shalihin Imam an-Nawawi, dan Al Majmu Al Kabir Min Al Fatawa.
1. Kelahiran
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dilahirkan di kota Unaizah, pada tanggal 27 Ramadhan 1347 H, dalam lingkungan keluarga yang dikenal akan ilmu dan ke-istiqamahannya. Kakek beliau dari pihak ibu bernama Syaikh Abdurrahman bin Sulaiman al Damigh. Kepadanyalah beliau belajar, menghafalkan al-Qur-an, dan sebelum menginjak usia 15 tahun beliau telah hafal kitab tentang ushul al-fiqh yaitu “Zaad al-Mustaqniq” dan kitab tentang ilmu nahwu/bahasa yaitu “Alfiyah ibn Malik”. Beliau menguasai sastra Arab, ilmu menghitung dan menulis tulisan Arab.
Tidaklah mudah pada zaman itu seorang pelajar menuntut ilmu sebagaimana saat ini yang begitu mudah fasilitasnya. Pada zaman itu, Syaikh Utsaimin belajar dengan fasilitas yang sederhana, tidak ada tempat belajar, AC, tidak ada lampu khusus untuk belajar, belajar di kamar yang terbuat dari tanah, yang terlihat darinya kandang sapi, sebagaimana beliau menceritakannya.
2. Berguru pada Syaikh Abdurrahman Sa’di
Syaikh Utsaimin belajar di kota Unaizah pada guru beliau yaitu Syaikh Abdurrahman as-Sa’di salah seorang ulama terkemuka di daerah Najd selama 11 tahun. Beliau mengajar di Masjid Jami’ di Unaizah pada tahun 1371 H, akan tetapi hal ini tidak berlangsung lama karena beliau pergi ke kota Riyadh untuk belajar pada tahun 1372 H setelah meminta izin kepada Syaikh Sa’di guru beliau. Disanalah nampak bahwa beliau orang yang menonjol dalam ilmu agama, dimana beliau mampu meringkas studi selama 2 tahun dalam satu tahun, sehingga beliau dapat menyelesaikan pelajaran yang seharusnya 4 tahun menjadi 2 tahun.
Setelah itu, beliau ditunjuk sebagai pengajar di Ma’had Unaizah al-Ilmi, lalu melanjutkan di Kuliah syariah di Riyadh hingga lulus. Di kota ini, beliau bertemu dan belajar pada guru beliau ke dua, yaitu Syaikh Abdul Aziz bin Baz -rahimahullah-, Syaikh Utsaimin sangat terkesan padanya, dimana beliau berucap : “Saya terkesan pada Syaikh bin Baz akan perhatian beliau pada hadits Nabi, dan saya sangat terkesan pula pada akhlak beliau”.
3. Ditawari jabatan sebagai Qadhi (Hakim kepala)
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh Mufti kerajaan Saudi Arabia pada waktu itu menawarkan pada beliau untuk menduduki jabatan hakim, bahkan telah menetapkan beliau sebagai hakim kepala di kota al-Ihsa, akan tetapi Syaikh Utsaimin mengajukan udzur tidak dapat menerima jabatan itu, dan beliau lebih mengutamakan untuk melanjutkan belajar pada guru beliau Syaikh Sa’di.
Beliau pernah berkomentar : “Saya banyak terkesan pada Syaikh Sa’di akan cara beliau mengajar, memaparkan ilmu serta memahamkan pada murid dengan contoh dan makna. Demikian pula saya sangat terkesan akan akhlak beliau, karena Syaikh Sa’di mempunyai akhlak mulia, berilmu serta ahli ibadah, beliau bercanda dengan anak-anak, dan tertawa bersama orang dewasa. Dan beliau – masyaa Allah – diantara orang yang paling baik akhlaknya yang pernah aku lihat”.
Tatkala Syaikh Sa’di meninggal dunia pada tahun 1376 H di Unaizah, Syaikh Utsaimin menggantikannya sebagai Imam dan pengajar di Masjid Jami’ di kota itu, disamping tugasnya yang lain yaitu mengajar di Maktabah Unaizah al-Wataniyah dan al-Ma’had al-Ilmi”. Kemudian beliau berpindah mengajar ke fakultas Syariah dan Ushuluddin di cabang Universitas al-Imam Muhammad bin Saud di kota al-Qashim hingga beliau wafat.
4. Semangat yang tinggi
Sepanjang itu, Syaikh Utsaimin menjadi imam, berkutbah jum’at dan mengajar di Masjid, dan Universitas, menjawab pertanyaan seputar hukum agama melalui telepon, ikut serta kegiatan lembaga majelis ulama, ceramah melalui media elektronik, menjadi pengasuh bagi asrama murid-murid, mengunjungi dan duduk bersama mereka, menyampaikan ceramah melalui telepon, ikut serta dalam acara masyarakat pada hari yang membahagiakan mereka, dan menunaikan kewajiban kepada keluarga beliau. Beliau adalah suri tauladan bagi murid-muridnya dalam jihad dan beramal shalih.
Pada suatu pelajaran, Syaikh Utsaimin menyadari ada seorang yang tidak ikut pelajaran sebelumnya, lalu ia bertanya : “Apakah engkau faham terhadap apa yang aku sampaikan?” ia menjawab : “Tidak, ya Syaikh”. Lalu Syaikh Utsaimin bertanya : “Mengapa engkau datang dan hadir dalam pelajaran ini?” murid itu menjawab : “Agar mendapat pahala, sebagaimana hadits : Berdirilah, kalian telah diampuni. Sungguh Aku telah mengganti kejelekan kalian dengan kebaikan”. Ia mengutip sebuah hadits Nabi -shollallahu alaihi wa sallam- :
“Tidaklah suatu kaum berzikir kepada Allah melainkan ada penyeru dari langit : Berdirilah, kalian telah diampuni. Sungguh Aku telah mengganti kejelekan kalian dengan kebaikan”.
Maka Syaikh Utsaimin gembira mendengarkan jawaban ini dan perhatian terhadapnya.
5. Beliau Seorang Guru sekaligus Pendidik
Tidakklah hubungan Syaikh Utsaimin dengan para muridnya hanya sekedar hubungan ilmu saja. Beliau adalah sosok seorang pendidik sekaligus guru, beliau kunjungi murid-muridnya, menanyakan yang tidak hadir, dan membantu mereka yang butuh pertolongan.
Raja Khalid bin Abdul Aziz pernah menghadiahi pada beliau sebuah bangunan, maka beliaupun menginfakkannya untuk asrama murid-muridnya yang ditempati secara gratis, dan beliau sediakan ruang makan dan juru masaknya untuk menyediakan makanan bagi mereka. Dan beliau sediakan perpustakaan buku dan kaset.
Syaikh Utsaimin benar-benar mempergunakan metode penelitian dan mencari kejelasan dalam masalah ilmu agama, dan mengajarkan yang demikian itu pada murid-muridnya serta menasehati mereka untuk mencari kejelasan dan tidak tergesa-gesa dalam permasalahan yang berhubungan dengan agama. Dan beliau sangat bersemangat untuk menanamkan kepada muridnya sikap tidak fanatik pada suatu madzhab atau suatu pendapat, dan bersikap menerima kebenaran, dimana dalil dijadikan hakim/pemutus permasalahan, sekalipun menyelisihi madzhab beliau, yaitu madzhab al-Imam Ahmad bin Hanbal.
6. Kesederhanaan hidup dan kerendahan hati.
Syaikh Utsaimin termasuk ulama yang bersikap zuhud di dunia, beliau habiskan sebagian besar kehidupannya dalam rumahnya yang terbuat dari tanah. Beliau diberi hadiah dua rumah, namun beliau lebih mengutamakan keduanya untuk asrama murid-muridnya. Beliau tidak pernah meminta upah dari hasil karya-karya beliau yang dicetak atau kaset rekaman ceramah, dan beliau menganggap hal ini sebagai suatu hal yang menghambat ilmu. Beliau berpaling dari gemerlapnya dunia, dalam seminggu beliau mengenakan satu pakaian. Beliau berjalan kaki jika pergi ke masjid dan menolak ajakan salah seorang muridnya untuk pergi ke masjid dengan mobil, dan sepanjang perjalanannya ke masjid tiada henti-hentinya masyarakat baik yang tua maupan yang muda bertanya untuk meminta fatwa tentang permasalahan agama, hingga murid-murid sekolah dasar yang terletak di jalan menuju masjid berkeliling di sekitar beliau mengucapkan salam, dan beliau tidak menolak jabat tangan mereka. Dan jika berkenalan, beliau menyebut namanya langsung tanpa memberi embel-embel gelar beliau.
Suatu ketika ,beliau shalat di Masjidil Haram, setelah itu beliau ingin pergi ke suatu tempat, lalu beliau menyetop mobil taxi. Di dalam mobil terjadilah dialog antara beliau dengan sopirnya seorang Arab dalam masalah agama. Lalu bertanyalah sopir itu : “Siapa nama anda ya Syaikh?” beliau menjawab : “Muhammad bin Utsaimin”. Mendengar hal ini, sopir itu terkejut tidak percaya dan memastikan lagi : “Anda Syaikh Muhammad bin Utsaimin?” lalu beliau membalas : “Ya, Syaikh Utsaimin”. Lalu sopir taxi itu menggelengkan kepalanya sambil meragukan ucapan beliau, dan menganggap ucapan beliau sebagai sikap terlalu berani mengaku sebagai Syaikh Utsaimin. Lalu Syaikh berkata padanya : “Kalau anda, siapa nama anda?” sopir itu menjawab : “Syaikh Abdul Aziz bin Baz” (Seorang ulama ahlulhadits, Anggota Kibarul Ulama (Dewan Ulama Besar) dan Ketua Lajnah Daimah Saudi Arabia). (si sopir menjawab sekenanya, lantaran tidak percaya dengan jawaban Syaikh Utsaimin). Syaikh Utsaimin pun tertawa, lalu bertanya lagi : “Kamu Syaikh Abdul Aziz bin Baz?” sopir itu membalas : “Ya, sebagaimana anda (mengaku) Syaikh Utsaimin”.
Demikianlah keadaan Syaikh, jika beliau diantara para ulama, beliau adalah seorang ulama terkemuka yang tidak dapat diingkari seorangpun, dan jika diantara masyarakat biasa beliau seperti mereka.
7. Menasehati Dengan Lemah lembut
Suatu ketika, Syaikh Utsaimin menunaikan umrah bersama sahabat-sahabat beliau, dan di saat kembali ke penginapan, mereka melalui sekelompok pemuda bermain sepak bola. Lalu Syaikh berhenti dan menasehati mereka agar menunaikan shalat, akan tetapi mereka malah berpaling dari beliau dan tidak mengindahkan nasehatnya. Lalu beliau meminta kepada sahabat-sahabat beliau yang menemani agar pulang terlebih dahulu ke penginapan dan meninggalkan beliau bersama para pemuda dalam keadaan sendirian dan beliau berkeinginan keras agar para pemuda itu pergi menunaikan shalat. Syaikh pun menasehati mereka, lalu salah seorang diantara mereka memaki beliau dengan kata-kata yang jelek. Akan tetapi, beliau tidak menghiraukannya dan menyambut celaan itu dengan senyuman dan sikap mengasihi. Semua ini berlangsung dan mereka tidak mengetahui siapa Syaikh yang menasehati mereka, akhirnya merekapun mau mengikuti nasehat Syaikh, dan salah seorang pemuda yang mencela Syaikh tadi mengantarkan beliau ke penginapan, dan setelah sampai di penginapan pemuda itu baru tahu siapa jati diri Syaikh, lalu ia pun menangis serta meminta maaf dan Syaikh pun memaafkannya dan mengajarkan padanya cara berwudhu serta shalat, dan sejak saat itu pemuda itu menjadi seorang pemuda yang shalih taat beragama.
8. Bersemangat dalam Amal kebajikan dan tolong menolong.
Adapun dalam amal kebajikan yang beliau ikut berperan dengan hartanya, sebagian besar tidak diketahui oleh masyarakat, karena beliau sangat berusaha agar tidak diketahui sebagaimana hal ini dikatakan salah seorang muridnya. Beliau memberikan bantuan kepada siapa saja yang ingin menikah dan membayar separoh maharnya jika terpenuhi syarat-syaratnya. Beliau memberikan bantuan kepada orang-orang fakir dan mereka yang membutuhkan, bersama tiga orang muridnya beliau mendirikan pondok Tahfidzul Qur’an di kota Unaizah, membangun beberapa masjid di sejumlah tempat di negerinya, dan menginfakkan tiga juta real untuk pembuatan sumber air di Unaizah, sebagaimana juga beliau ikut andil dalam pembangunan masjid di luar negeri : seperti di Eropa, Amerika, Bangladesh dan lainnya.
(Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 27, hal. 45-50)
Semoga Allah merahmati beliau.
Senin, 18 Agustus 2014
Meluruskan Salah Paham Tentang Jihad
Jihad, sering kali didengungkan dan dikobarkan oleh berbagai kalangan. Namun demikian, seiring dengan dengungan tersebut kata jihad salah dipahami. Kebanyakan kita mengira bahwa jihad adalah satu amalan simpel, yaitu angkat senjata lalu arahkan kepada setiap orang yang dianggap kafir atau memusuhi agama Allah, maka selesai dan pasti surga.
Pemahaman ini semakin menjadi parah bila anda membicarakan tema ini dengan emosi dan “darah muda” dalam menyikapi kondisi ummat Islam yang tertindas dan dibantai.
Jihad sebagaimana amalan lainnya, haruslah disikapi secara proporsional dan terukur. Mengingat jihad bukan hanya dengan angkat senjata. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
ما من نبي بعثه الله في أمة قبلي إلا كان له من أمته
حواريون، وأصحاب يأخذون بسنته ويقتدون بأمره، ثم إنها تخلف من بعدهم خلوف
يقولون ما لا يفعلون، ويفعلون ما لا يؤمرون، فمن جاهدهم بيده فهو مؤمن، ومن
جاهدهم بلسانه فهو مؤمن، ومن جاهدهم بقلبه فهو مؤمن، وليس وراء ذلك من
الإيمان حبة خردل رواه مسلم
“Tiada seorang Nabi pun yang diutus di suatu kaum sebelumku
melainkan mereka memiliki pengikut setia dan sahabat. Para pengikut
setia tersebut meneladani ajaran para Nabinya, dan mematuhi perintahnya.
Selanjutnya, datang generasi penerus mereka yang berbeda sikap; mereka
bertutur kata yang tidak mereka terapkan sendiri, dan mengamalkan
hal-hal yang tidak diajarkan kepada mereka. Barang siapa yang berjihad
memerangi mereka dengan kekuatan yang ia miliki maka ia adalah orang
yang beriman. Barang siapa yang berjihad memerangi mereka dengan
lisannya maka ia juga orang yang beriman. Dan barang siapa yang berjihad
melawan mereka dengan hati (membenci mereka) maka ia juga orang yang
beriman. Dan tiada keimanan sedikitpun bagi selain ketiga kelompok
tersebut” (Riwayat Muslim).Pada hadits ini nampak dengan jelas, bahwa jihad bisa dilaksanakan dalam bentuk ucapan dan juga keyakinan. Juga menunjukkan bahwa pihak yang wajib di-jihad-i bukan hanya orang orang kafir, dan tidak setiap orang kafir wajib atau boleh diperangi alias dibunuh.
Bahkan diantara orang orang yang wajib di-jihad-i (diperangi) adalah orang orang munafik alias musuh dalam selimut. Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
“Wahai Nabi, tegakkanlah jihad melawan orang orang kafir dan
orang orang munafik serta bersikaplah tegas kepada mereka semua,
sedangkan tempat kembali mereka semua ialah neraka jahannam, dan sungguh
itu adalah seburuk buruk tempat kembali” (QS. At Taubah 73).Musuh dari luar semua orang mengenalnya dan mengetahui kewajiban untuk memerangi mereka. Namun musuh dalam selimut, musang yang berbulu domba hanya segelintir orang yang dapat mengenali mereka dan tentunya lebih sedikit lagi yang berani menyibak tabir yang menutupi wajah bengis mereka. Di saat yang sama, betapa banyak dari umat Islam yang terperdaya dan bersimpati kepada mereka, sehingga bersahabat dengan mereka.
Kedua dalil di atas membuktikan bahwa anggapan bahwa jihad hanya berupa jihad melawan negara Yahudi atau Amerika saja adalah pemahaman yang “cupet”. Akibatnya banyak dari kita yang terperdaya sehingga hanyut dalam perangkap musuh dalam selimut.
—
Penulis: Dr. Muhammad Arifin Baderi, Lc., MA.
Artikel Muslim.Or.Id
Selasa, 12 Agustus 2014
Ambillah Aqidahmu dari Al-Qur’an dan As-Sunnah (2): Macam-Macam Tauhid dan Faedahnya
Oleh: Syaikh Muhammad Bin Jamil Zainu
Soal 1:
Apa maksud Allah mengutus para Rasul?
Jawab 1:
Allah mengutus para Rasul supaya mereka berda’wah mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah dan menjauhi syirik, sebagaimana firman Allah:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ
Artinya: “Dan sungguh telah kami utus kepada setiap umat itu seorang rasul (agar menyeru kepada umat-nya): Beribadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah thaghut.” (Terj. An-Nahl: 36)
Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
ألأنبياء إخوة …… ودينهم واحد {حديث صحيح متفق عليه
Artinya: “Para Nabi itu bersaudara dan dien mereka satu.” (Hadits shohih riwayat Bukhori)
-
Soal 2:
Apa yang dimaksud dengan Tauhid Rububiyah?
Jawab 2:
Tauhid Rububiyah adalah mentauhidkan Allah dalam seluruh perbuatan-Nya seperti menciptakan, memelihara dan sebagainya. Allah berfirman:
الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Artinya: “Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.” (Terj. Al-Fatihah: 2)
Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أنت رب اسموات ولأرض
Artinya: “Engkaulah Rabb langit dan bumi.” (Hadits shohih riwayat Bukhari dan Muslim)
-
Soal 3:
Apa yang dimaksud Tauhid Uluhiyah?
Jawab 3:
Tauhid Uluhiyah adalah mentauhidkan Allah dalam beribadah seperti berdo’a, menyembelih kurban, bernadzar dan sebagainya. Allah berfirman:
وَإِلَـهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ
Artinya: “Dan Ilahmu itu adalah ilah yang satu, tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Dia yang Maha Pengasih dan Penyayang.” (Terj. Al-Baqarah: 163)
Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
فليكن أول ماتدعوهم إليه شهادة أن لاإله إلا الله
Artinya: “Maka hendaklah yang pertama kamu serukan kepada mereka adalah persaksian bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Allah.” (Hadits shohih riwayat Bukhari dan Muslim)
Dan dalam riwayat Bukhari:
إلي أن يواحدوا الله
Artinya: “Sampai mereka mentauhidkan Allah.”
-
Soal 4:
Apa yang dimaksud dengan Tauhid Asma’ wa Shifatillah?
Jawab 4:
Tauhid Asma’ dan Sifat adalah menetapkan semua sifat yang Allah tetapkan bagi diri-Nya dalam kitab-Nya atau sebagaimana Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam mensifati-Nya dalam hadits shohih sesuai dengan hakekatnya tanpa ta’wil, tafwidh, tamtsil, dan tanpa ta’thil (*), seperti istiwa’, turun (ke langit dunia), dan lain-lain yang menuju pada kesempurnaan-Nya.
Allah berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
Artinya: “Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Dia, sedang Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Terj. Asy-Syura: 11)
Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
ينزل الله في كل ليلة في سماء الدنيا
Artinya: “Allah turun ke langit dunia pada setiap malam.” (Hadits shohih riwayat Muslim)
Maksudnya, turunnya Allah itu sesuai dengan kemuliaan-Nya, tidak menyerupai turunnya salah satu dari makhluk-Nya.
(*)
1. Ta’wil di sini yang dimaksud sesungguhnya adalah tahriif. Ahlul bid’ah sengaja menyebut diri mereka ahli ta’wil untuk melariskan kebid’ahan mereka. Padahal pada hakekatnya semua itu adalah tahriif. Arti tahriif adalah merubah lafazh (teks) dan makna (pengertian) nama-nama atau sifat-sifat Allah, seperti pernyataan golongan Jahmiyah (pengikut Jahm bin Sofwan) mengenai Istawa yang mereka ubah menjadi Istawla (menguasai), dan sebagian ahli bid’ah lain yang menyatakan arti al-ghadhab (marah) bagi Allah adalah kehendak untuk menyiksa, dan makna ar-rahmah adalah kehendak memberi nikmat. Semua ini adalah tahriif. Yang pertama tahriif lafzhi (tekstual) dan yang berikutnya adalah tahriif secara makna.
2. Tafwidh artinya menyandarkan makna atau interpretasi dari kalimat-kalimat yang menunjukkan nama dan sifat Allah Ta’ala kepada Allah. Misalnya, kalimat يذ الله (tangan Allah), yang mengetahui maknanya adalah Allah. Pernyataan ini adalah ucapan ahlul bid’ah yang paling buruk. Tidak ada satupun salafus shaleh yang berbuat demikian. Bahkan seperti yang ditegaskan oleh Imam Malik ketika ditanya, bagaimana istiwa’ itu? Beliau menjawab, istiwa’ sudah kita ketahui maknanya, al-kaifu (bagaimana hakekatnya) tidak dikenal, beriman bahwa Allah istiwa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy hukumnya wajib. Mempertanyakan bagaimana (hakekat bentuknya) adalah bid’ah.
3. Tamtsil artinya menyerupakan atau menyamakan. Maksudnya menetapkan adanya sifat-sifat Allah dan menyatakan sifa-sifat itu sama dengan sifat makhluk-Nya. Sedangkan prinsip Ahlus Sunnah dalam menyatakan bahwa Zat Allah tidak sama seperti zat kita atau mirip zat kita dan seterusnya. Begitupula dengan sifat-Nya. Ahlus Sunnah tidak mengatakan bahwa sifat Allah seperti sifat yang ada pada kita. Kita tidak akan mengatakan tangan-Nya seperti tangan kita, kaki-Nya seperti kaki kita dan seterusnya. Namun wajib atas setiap mu’min untuk tetap berpedoman dengan firman Allah:
ليس كمثله شي ء
Artinya: “Tidak ada satupun yang serupa dengan-Nya.” (Terj. Asy-Syura: 11)
Dan:
هل تعلم له سميا
Artinya: “Adakah kamu tahu ada yang sama dengan-Nya?” (Terj. Maryam: 65)
Adapun maksud kedua ayat ini adalah bahwasanya tidak ada satupun yang menyerupai dan menyamai-Nya.
4. Ta’thil artinya meniadakan dan menghapus atau mengingkari semua sifat dari Allah. Jahmiyah dan orang-orang yang mengikutinya melakukan hal ini. Karena itulah mereka dinamakan juga Mu’aththilah (pelaku ta’thil). Pendapat mereka ini sangat jelas kebaitlannya. Tidak mungkin di dunia ini ada satu zat yang tidak mempunyai sifat. Al-Qur’an dan As-Sunnah menyebutkan adanya sifat-sifat Allah itu dan sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya.
5. Kami tambahkan di sini satu prinsip lagi yang belum disebutkan Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu yaitu At-Takyiif yang artinya mempertanyakan ‘bagaimana bentuk hakekat’ sifat Allah yang sesungguhnya. Maka diantara prinsip Ahlus Sunnah dalam masalah sifat ini adalah tidak mempertanyakan: Bagaimana istawa’ Allah, bagaimana tangan-Nya, bagaimana wajah-Nya? Dan seterusnya. Karena membicarakan sifat itu sama halnya dengan membicarakan zat. Sehingga, sebagaimana Allah mempunyai Zat yang tidak kita ketahui hakekat bentuknya, maka demikian pula sifat-sifat-Nya, kita tidak mengetahui bagaimana hakekat dan bentuk atau wujud sifat itu sesungguhnya. Dan juga karena tidak ada yang mengetahui hal itu kecuali Allah, maka semua itu harus diiringi pula dengan keimanan kita terhadap hakekat maknanya. (Maksudnya, arti kata dari sifat itu kita ketahui tapi hakekat bentuk atau wujudnya seperti apa kita tidak tahu, wallahu a’lam -ed).
-
Soal 5:
Dimana Allah?
Jawab 5:
Allah itu tinggi di atas ‘Arsy di atas langit. Firman Allah:
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Artinya: “Ar-Rahman (yang Maha Pengasih) yang tinggi di atas ‘Arsy.” (Terj. Thaaha: 5)
Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إن الله كتبا …… فهو عنده فوق العرش
Artinya: “Sesungguhnya Allah telah menuliskan takdir, dan kitab catatan takdir itu ada di sisi-Nya di atas ‘Arsy.” (Hadits shohih riwayat Bukhari dan Muslim)
-
Soal 6:
Apakah Allah bersama kita?
Jawab 6:
(Ya). Allah bersama kita dengan pendengaran-Nya, penglihatan-Nya dan ilmu-Nya (**), seperti firman Allah:
قَالَ لَا تَخَافَا إِنَّنِي مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَأَرَى
Artinya: “Janganlah kamu berdua takut, karena sesungguhnya Aku bersama kamu berdua (Musa dan Harun) sedangkan aku mendengar dan melihat.” (Terj. Thaha: 46)
Dan sabda Rasulullah:
إنكم تدعون سميعا قريبا وهو معكم )أي بعلمه(
Artinya: “Sesungguhnya kalian berdo’a kepada yang Maha Mendengar lagi Maha Dekat, dan Dia senantiasa bersama kalian (yakni, dengan ilmu-Nya).” (Hadits riwayat Muslim)
(**)
Maksudnya di sini, Allah mendengar semua pembicaraan (rahasia maupun terang-terangan), melihat dan mengetahui semua tindak tanduk hamba-hamba-Nya, wallahu a’lam.
-
Soal 7:
Apa faedah tauhid?
Jawab 7:
Faedah tauhid adalah untuk memperoleh keamanan dan keselamatan dari siksa di akhirat, mendapatkan hidayah (petunjuk) Allah di dunia dan menutup atau menghapus dosa-dosa.
Firman Allah:
الَّذِينَ آمَنُواْ وَلَمْ يَلْبِسُواْ إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُوْلَـئِكَ لَهُمُ الأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ
Artinya: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Terj. Al-An’am: 82)
“Kezaliman” yang dimaksud dalam ayat ini adalah kesyirikan. (***)
(***)
Sebagaimana disebutkan dalam shahih dari Ibnu Mas’ud ketika dibacakan ayat ini, mereka mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, siapa dari mereka yang selamat dari kezhaliman? Tapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
ليس كما تقولون ، ألم تسمعوا قول لقمان
Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
حق العباد على الله أن لا يعذب من لا يشرك به شيأ
Artinya: “Hak hamba atas Allah adalah bahwa Allah tidak akan mengadzab orang yang tidak berbuat syirik sedikitpun kepada-Nya.” (Hadits shohih riwayat Bukhari dan Muslim)
-bersambung insya Allah-
Agama Baru Bahaiyyah, Apakah Kafir?
Ajaran
Bahaiyyah adalah agama yang baru di negeri ini bahkan diisukan sudah
akan diresmikan oleh pemerintah. Bagaimana pandangan Islam mengenai
ajaran ini?Syaikh Ibnu Baz pernah ditanya mengeani aliran Bahaiyyah. Ajaran
tersebut mengaku adanya nabi sepeninggal Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Apakah boleh menguburkan mereka di pemakaman kaum muslimin?
Jawaban dari Syaikh Ibnu Baz, “Jika memang ajaran dari Bahaiyyah sebagaimana yang kalian sebutkan, maka ia kafir. Tidak boleh menguburkan mereka di pemakaman kaum muslimin. Karena siapa saja yang mengklaim masih ada Nabi sepeninggal Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ia benar-benar pendusta dan kafir berdasarkan nash dan ijma’ -kata sepakat- kaum muslimin. Itu juga berarti telah mendustakan firman Allah Ta’ala,
Begitu pula terdapat hadits yang banyak yang berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa tidak ada Nabi lagi sepeninggal beliau dan beliau adalah penutup para nabi.
Begitu pula jika ada yang mengklaim bahwa Allah bersatu dengan nabi tadi atau bersatu dengan satu satu makhluk, ia pun kafir berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Karena Allah Ta’ala tidaklah bersatu dengan salah satu dari makhluk-Nya. Allah itu begitu Agung dan Besar. Siapa yang berkeyakinan seperti itu, maka ia kafir berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Ia telah mendustakan berbagai ayat dan hadits yang menunjukkan bahwa sebenarnya Allah berada di atas ‘Arsy, menetap tinggi di atas seluruh makhluk-Nya. Allah itu Maha Tinggi dan Maha Besar, tidak ada yang serupa dan semisal dengan Allah. Allah Ta’ala telah memberitahukan pada hamba-Nya,
Begitu pula disebutkan dalam firman Allah,
Juga disebutkan dalam ayat lainnya,
Allah Ta’ala berfirman pula,
Juga ada banyak ayat yang menyebutkan bahwa Allah itu menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya dan beristiwa’ sesuai dengan keagungan-Nya. Tidak ada satu makhluk pun yang serupa dengan Allah. Hanya Allah yang mengetahui hakekat Dia beristiwa’. Begitu pula mengenai hakekat Zat Allah, hanyalah Dia yang mengetahui. Itulah yang diterangkan oleh Allah dan inilah yang menjadi prinsip akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang sudah dijelaskan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah juga yang menjadi keyakinan khulafaur rosyidin, para sahabat, tabi’in dan yang mengikuti mereka dengan baik hingga saat ini.
Ketahuilah wahai saudaraku. Aku sendiri sebenarnya belum mengetahui mengenai kitab-kitab ajaran Bahaiyyah hingga saat ini. Namun aku telah mengetahui dari berbagai info, aliran ini kusimpulkan sebagai aliran sesat, ajarannya ajaran kafir, bukanlah Islam. Dari apa yang telah kusebutkan bisa menjawab pertanyaan di atas.
Setelah itu aku menelaah dan meneliti, terdapat dalam Majalah Al Hadai An Nabawi yang diterbitkan di Mesir sebanyak empat jilid, terbit di bulan Ramadhan dan Dzulqo’dah tahun 1368 H, yang ketiga diterbitkan pada bulan Rabi’uts Tsani 1369. Diterangkan di situ bahwa Bahaullah adalah Rasul dari aliran Bahaiyyah. Ia mengaku sebagai penghapus syari’at sebelumnya dan meluruskannya. Setiap masa pun dibutuhkan Rasul. Mereka juga mengingkari adanya Malaikat. Hakekat malaikat menurut mereka adalah arwah mukmin yang berada di atas. Mereka pun mengingkari hari berbangkit. Juga yang mereka ingkari adalah Dajjal. Jelas sekali bahwa mengaku dibutuhkannya Rasul sepeninggal Nabi kita Muhammad seperti yang diyakini oleh aliran Bahaiyyah adalah suatu kekufuran yang nyata.
Allah-lah yang memberi taufik. Tidak ada daya dan kekuatan selain Dia. Kami memohon pada Allah agaran kalian dan saudara kita lainnya dari kaum mukminin mendapatkan taufik untuk mengenal kebenaran dan mengikutinya. Dialah yang Maha Mulia. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Muhammad selaku hamba dan utusan Allah, sayyid dan pemimpin kita, begitu pula kepada keluarga dan sahabat, juga yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.
Jawaban dari Syaikh Ibnu Baz, “Jika memang ajaran dari Bahaiyyah sebagaimana yang kalian sebutkan, maka ia kafir. Tidak boleh menguburkan mereka di pemakaman kaum muslimin. Karena siapa saja yang mengklaim masih ada Nabi sepeninggal Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ia benar-benar pendusta dan kafir berdasarkan nash dan ijma’ -kata sepakat- kaum muslimin. Itu juga berarti telah mendustakan firman Allah Ta’ala,
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki
di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi. ” (QS. Al Ahzab: 40).Begitu pula terdapat hadits yang banyak yang berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa tidak ada Nabi lagi sepeninggal beliau dan beliau adalah penutup para nabi.
Begitu pula jika ada yang mengklaim bahwa Allah bersatu dengan nabi tadi atau bersatu dengan satu satu makhluk, ia pun kafir berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Karena Allah Ta’ala tidaklah bersatu dengan salah satu dari makhluk-Nya. Allah itu begitu Agung dan Besar. Siapa yang berkeyakinan seperti itu, maka ia kafir berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Ia telah mendustakan berbagai ayat dan hadits yang menunjukkan bahwa sebenarnya Allah berada di atas ‘Arsy, menetap tinggi di atas seluruh makhluk-Nya. Allah itu Maha Tinggi dan Maha Besar, tidak ada yang serupa dan semisal dengan Allah. Allah Ta’ala telah memberitahukan pada hamba-Nya,
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. Al A’raaf: 54).Begitu pula disebutkan dalam firman Allah,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. Thoha: 5)Juga disebutkan dalam ayat lainnya,
فَالْحُكْمُ لِلَّهِ الْعَلِيِّ الْكَبِيرِ
“Maka putusan (sekarang ini) adalah pada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Ghofir: 12)Allah Ta’ala berfirman pula,
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
“Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik[1249] dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.” (QS. Fathir: 10).Juga ada banyak ayat yang menyebutkan bahwa Allah itu menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya dan beristiwa’ sesuai dengan keagungan-Nya. Tidak ada satu makhluk pun yang serupa dengan Allah. Hanya Allah yang mengetahui hakekat Dia beristiwa’. Begitu pula mengenai hakekat Zat Allah, hanyalah Dia yang mengetahui. Itulah yang diterangkan oleh Allah dan inilah yang menjadi prinsip akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang sudah dijelaskan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah juga yang menjadi keyakinan khulafaur rosyidin, para sahabat, tabi’in dan yang mengikuti mereka dengan baik hingga saat ini.
Ketahuilah wahai saudaraku. Aku sendiri sebenarnya belum mengetahui mengenai kitab-kitab ajaran Bahaiyyah hingga saat ini. Namun aku telah mengetahui dari berbagai info, aliran ini kusimpulkan sebagai aliran sesat, ajarannya ajaran kafir, bukanlah Islam. Dari apa yang telah kusebutkan bisa menjawab pertanyaan di atas.
Setelah itu aku menelaah dan meneliti, terdapat dalam Majalah Al Hadai An Nabawi yang diterbitkan di Mesir sebanyak empat jilid, terbit di bulan Ramadhan dan Dzulqo’dah tahun 1368 H, yang ketiga diterbitkan pada bulan Rabi’uts Tsani 1369. Diterangkan di situ bahwa Bahaullah adalah Rasul dari aliran Bahaiyyah. Ia mengaku sebagai penghapus syari’at sebelumnya dan meluruskannya. Setiap masa pun dibutuhkan Rasul. Mereka juga mengingkari adanya Malaikat. Hakekat malaikat menurut mereka adalah arwah mukmin yang berada di atas. Mereka pun mengingkari hari berbangkit. Juga yang mereka ingkari adalah Dajjal. Jelas sekali bahwa mengaku dibutuhkannya Rasul sepeninggal Nabi kita Muhammad seperti yang diyakini oleh aliran Bahaiyyah adalah suatu kekufuran yang nyata.
Allah-lah yang memberi taufik. Tidak ada daya dan kekuatan selain Dia. Kami memohon pada Allah agaran kalian dan saudara kita lainnya dari kaum mukminin mendapatkan taufik untuk mengenal kebenaran dan mengikutinya. Dialah yang Maha Mulia. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Muhammad selaku hamba dan utusan Allah, sayyid dan pemimpin kita, begitu pula kepada keluarga dan sahabat, juga yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.
Mengapa Harus Belajar Akidah?
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, bulan Ramadhan tidak lama lagi datang. Semangat dan kesadaran untuk menyambut puasa mulai tumbuh dan bersemi. Sungguh, suatu hal yang harus kita syukuri dan apresiasi.
Puasa, adalah salah satu diantara lima rukun Islam. Sebelum puasa telah ada dua kewajiban besar lain atas kita, yaitu syahadat dan sholat. Sholat dan puasa pun baru diwajibkan setelah sekian lama dakwah tauhid dikumandangkan dan disebarluaskan. Hal ini tentu menunjukkan kepada kita betapa butuhnya ibadah-ibadah yang agung ini -sholat, puasa, dan juga selainnya- kepada landasan akidah yang benar.
Sebagaimana hal itu ditunjukkan oleh firman Allah (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (QS. Al-Kahfi : 110)
Ibadah kepada Allah tidak akan diterima apabila dilandasi dengan akidah yang rusak dan melenceng jauh dari tauhid dan iman. Ibadah sebesar apapun apabila tercampuri dengan syirik maka ia akan menjadi musnah, lenyap, dan sia-sia. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Kami teliti segala amal yang telah mereka lakukan, kemudian Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqan : 23)
Amal-amal yang tidak ikhlas, amal-amal yang tidak ditegakkan di atas tauhid dan sunnah, maka amal-amal itu akan ditolak di sisi Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi amalnya, yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya di dunia sementara mereka mengira bahwa dirinya telah melakukan dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi : 103-104)
Seperti contohnya, kisah yang sudah sangat terkenal tentang pengingkaran sahabat Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu’anhuma terhadap kaum Qadariyah/penolak takdir. Beliau dengan lantang mengatakan, “Seandainya mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud lalu diinfakkan maka Allah tidak akan menerimanya dari mereka sampai mereka mau beriman kepada takdir.” (HR. Muslim)
Hal ini menunjukkan bahwa amal orang yang tidak beriman tidak diterima, sebesar apapun amal itu. Karena amalan itu tidak dilandasi dengan iman yang benar, yaitu keimanan kepada segala apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya dengan penuh penerimaan dan kepatuhan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam asy-Syafi’i rahimahullah, “Aku beriman kepada Allah dan apa-apa yang datang dari Allah sebagaimana yang dikehendaki Allah. Dan aku beriman kepada Rasulullah dan apa-apa yang datang dari Rasulullah sebagaimana yang dikehendaki Rasulullah.”
Ini artinya, mengerjakan ibadah puasa -atau ibadah-ibadah lainnya- harus ditopang dengan akidah sahihah. Semata-mata membaguskan amal dan memperbanyak amal tanpa meluruskan akidah dan membersihkannya dari kekafiran dan kemunafikan adalah sia-sia. Sebagaimana halnya, hanya mementingkan ikhlas namun tidak berupaya mengikuti tuntunan dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun sia-sia.
Dengan demikian, seorang yang menjalankan ibadah puasa, akan tetapi masih memiliki amal-amal yang tergolong dalam syirik akbar atau kufur akbar, maka tidaklah berguna puasa yang dia lakukan. Oleh sebab itu, Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah menerangkan, bahwa dibukanya pintu surga di bulan Ramadhan adalah untuk orang beriman, adapun orang kafir maka pintu surga itu tertutup bagi mereka.
Diantara bentuk kufur akbar yang banyak tersebar di masa kini adalah anggapan bahwa semua agama benar. Semua agama itu -menurut mereka- adalah jalan-jalan menuju satu tujuan yang sama yaitu Allah. Ibarat sebuah roda pedati dengan jeruji-jerujinya. Allah adalah porosnya dan agama-agama adalah jerujinya. Demikian ungkapan yang mereka lontarkan. Sehingga -dalam anggapan mereka- semua agama pada akhirnya akan mengantarkan pemeluknya ke surga. Sampai-sampai terdengar komentar dari sebagian orang, “Kalau surga hanya dihuni orang Islam, maka orang Islam pasti akan kesepian”. Subhanallah! Maha Suci Allah, sungguh ini adalah kedustaan dan kekafiran yang sangat besar. Maha Suci Allah dari apa-apa yang mereka ucapkan…
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, bukankah anda beriman terhadap al-Qur’an? Bukankah anda beriman kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Allah ta’ala telah menegaskan di dalam ayat-Nya (yang artinya), “Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali ‘Imran : 19)
Allah juga berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima darinya, dan kelak di akhirat dia pasti termasuk golongan orang-orang merugi.” (QS. Ali ‘Imran : 85)
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah seorang pun yang mendengar kenabianku di antara umat ini, entah dia beragama Yahudi atau Nasrani kemudian dia meninggal dalam keadaan tidak mengimani ajaran [Islam] yang aku bawa melainkan kelak dia pasti termasuk golongan penghuni neraka.” (HR. Muslim)
Firman-Nya (yang artinya), “Mereka berkata: Jadilah kalian beragama Yahudi atau Nasrani niscaya kalian akan mendapatkan petunjuk! Katakanlah: [Tidak] Akan tetapi kami akan mengikuti agama Ibrahim yang lurus, dan dia bukanlah termasuk golongan orang-orang yang musyrik.” (QS. Al-Baqarah: 135)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ibrahim bukanlah Yahudi, bukan pula Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang hanif/bertauhid dan seorang muslim, dan dia bukanlah termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. Ali Imran: 67)
Ayat-ayat dan hadits di atas sangatlah jelas bagi orang yang mau tunduk kepada wahyu dan tidak sombong. Adapun orang yang sombong dengan logika dan perasaannya maka dia akan menolak serta enggan untuk meyakininya.
—
Penulis: Ari Wahyudi
Artikel Muslim.Or.Id
Langganan:
Postingan (Atom)
logo
Categories
- Al-qur'an (1)
- Aqidah (3)
- Artikel (6)
- Hidayah (1)
- Kata - Kata Mutiara (2)
- Kisah (1)
- Manhaj (2)
- Persahabatan (1)
- Tahukah Anda (1)